Review Risalah Kunang-Kunang Khaeriyah Nasruddin
Muhammad Hidayat
Membaca buku ‘Risalah Kunang-Kunang’ seperti membaca kenangan seseorang. Kumpulan cerpen terbitan Penerbit Shofia ini ditulis oleh Khaeriyah Nasruddin dengan memakai alur cerita yang begitu menggigit. Bagai menonton bioskop sambil mengunyah popcorn. Cerita yang disajikan begitu haru dan mendebarkan. Meminjam perkataan pengendorse Masdar Zhainal, “Bahkan begitu nyata.”
***
Jangan biarkan aku menunggu, Ibu!
Semalam telah kuajari bibirku untuk tetap tersenyum di depan cermin. Aku ingin ketika ibu menatapnya, ibu menemukan senyumku tampak ramah. Di kursi ini, aku kembali duduk mennunggu ibu lewat lalu menyapaku. Namun, tetap sama. Kembali senyum ibu tak kujumpa. Rasanya senyum ibu telah hilang dari wajahnya. (hal. 7)
Di awal-awal cerita, mengambil judul ‘Memetik Senyum Kunang-Kunang’, Khaeriyah menawarkan kenangan tentang kunang-kunang yang kehilangan sosok ayah –yang berujung pada kehilangan ibu. Kematian melahirkan peluang-peluang untuk berbuat keji. Seperti sang Ibu kunang-kunang yang bermesraan dengan kunang-kunang jantan yang lain. Sang gadis kunang-kunang teramat sedih. Rindu ia dengan sebuah kecupan ibunya. Ibu kunang-kunang berujar, “Kematian akan mengajarkan kita bahwa setiap orang terdekat akan pergi. Seperti ayah yang meninggalkan kita.” Tapi sayang, Ibu masih belum mengerti bahwa dialah yang dirindui sang anak.
Bahwa sesuatu yang pergi, pasti meninggalkan kenangan. Kepergian ayah melahirkan kehilangan pada sosok Ibu. Di akhir cerita, cerpen ini melahirkan tanda tanya pada saya. Dan ini membuat cerpen ini menarik. Apakah ibu berbuat demikian agar ayah tak sedih di surga (dengan asumsi ayah sedih jika melihat ibu terus-terusan menangis mengingat ayah)? Ataukah malah membuatnya sedih?
Pada cerpen ‘Malaikat Kunang-Kunang’, sungguh sangat mengaduk emosi. Bercerita tentang seseorang yang bunuh diri. Sang tokoh sepertinya sudah putus asa dengan hidup ini. Gelombang masalah tak bisa dibendung. Istrinya meninggal. Kadar imannya kemudian menipis. Hingga Tuhan dikatakannya telah mati. Nasihat untuk tidak bunuh diri diabaikannya.
Cerpen ‘Mimpi Kunang-Kunang Kecil’ membawa saya terbang pada prosa yang ditulis Baikhati (Jauhari Subhi) berjudul ‘Anakku’. Bercerita tentang kerinduan anak pada sosok Ibu yang telah tiada. Jika Jauhari Subhi memberi perumpamaan langit yang bisa dijangkau dengan pesawat, maka Khaeriyah bercerita mengenai musim panen di mana sosok ibu akan datang. Anak dalam ‘Anakku’ ingin menemui ibunya di langit. Sedangkan dalam ‘Mimpi Kunang-Kunang Kecil’, anak menunggu ibu di musim panen. Intinya sama, merindukan sosok ibu.
Dan sebagai anak, tentu saja adalah keniscayaan mencintai cocok Ibu. Sastrawan, Zawawi Imron bahkan bersyair atasnya. Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/ sesekali datang padaku/ menyuruhku menulis langit biru/ dengan sajakku.
***
“Kunang-kunang senantiasa membuat orang-orang yang melihatnya bahagia. Meski mereka hanya bertemu kunang-kunang sekali dua kali, mereka akan selalu merindukannya. Bagaimana rasanya, ya, bila kita bertemu seseorang dan orang tersebut merindukan kita?”(hal 80)
Buku ini ditutup dengan cerpen berujudul ‘Gadis Kunang-Kunang’. Cerpen ini sekaligus membuat saya ingin jadi kunang-kunang. Jujur saja, cerpen ini membuat saya rindu untuk bertemu rekan yang lagi tugas di luar kota. Kejadiannya memang tak seperti yang diceritakan dalam cerpen. Tetapi, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya –berupa ukhuwah- cukup mewakili perasaan saya.
Cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh yang bertemu dengan Kak Helsa. Pertemuan mereka di pawai akbar ternyata menuai keakraban. Ukhuwah terjalin hingga pertemuan berikutnya. Namun, tiba saatnya saat sang tokoh tak sengaja melihat Kak Helsa dari kejauhan. Kak Helsa bersama dengan seorang lelaki yang –diduga oleh sang tokoh sebagai suami. Tapi, selang beberapa menit, sosok perempuan lain datang menemui ‘Lelaki Helsa’. Jelas saja, Helsa marah. Meski lelaki tersebut ingin mengutarakan penjelasan. Tapi, kemurungan sudah mulai tumpah. Kak Helsa berubah sejak kejadian itu. Selebihnya, cerpen ini ditutup dengan ungkapan yang sangat manis. “Aku akan pergi. Ke mana saja. Asal nggak kembali ke masa lalu.” Tapi, mungkinkah?
***
Sebagai karya sastra, memang sepatutnya ia menggerakkan seseorang. Bahwa menulis tidak sekadar menulis. Tetapi, menyampaikan nilai-nilai yang dapat mengubah masyarakat. Dari perilaku naif ke arif. Dalam hal ini, Khaeriyah mencoba mengkritik hilangnya nilai arif tersebut secara unik lewat ‘Risalah Kunang-Kunang’.