Sang Pewarta (Cinta, Konspirasi, Investigasi) 
Tomi, seorang sarjana hukum yang memilih bekerja sebagai wartawan, melibatkan diri dalam investigasi dugaan penyelewengan proyek pengadaan alat kesehatan di suatu kementerian. Fakta demi fakta, bukti demi bukti, ia kumpul dan rangkai untuk diungkap dalam laporan khusus media tempatnya bekerja.  Namun, kian dalam ia menggali sumur informasi, kian dalam pula ia berada dalam lubang hitang yang telah lama menganga di tanah air ini. Tangan-tangan rahasia bekerja dan tak seorang pun yang tahu apakah dirinya pahlawan, korban, ataukan pecundang yang nyata.  Sementara itu, Dara, perempuan yang hatinya tertambat untuk Tomi, justru bagian dari Kantor Hukum pengacara rekanan perusahaan pemenang tender yang diduga bermasalah. Kantor Hukum tak tinggal diam dengan liputan-liputan yang menyudutkan kliennya. Bisakah cinta, yang juga bekerja secara rahasia, menyatukan mereka? Siapakah pahlawan, korban, atau pecundang di dalam semesta cinta?  Sekilas Novel Sang Pewarta Novel ini adalah novel pertama yang menceritakan kisah Satrio ‘Tomi’ Utomo, sang wartawan. Seperti judulnya, novel ini memang membahas kisah Tomi saat bergelut menjadi wartawan harian Suara Nasional. Sebagai wartawan baru, bisa dibilang sepak terjang Tomi gemilang. Apalagi dia mendapatkan kesempatan untuk meliput salah satu berita penting di negeri ini.  Insting wartawannya dan pengetahuannya yang luas di bidang hukum banyak membantu Tomi dalam prosesnya melakukan liputan.  Kulit demi kulit fakta dikupas oleh Tomi satu per satu. Dukungan dari pemimpin redaksinya dan partner sesama wartawan cukup banyak membantu Tomi dalam segala proses investigasinya. Dan seperti diungkap dalam ringkasan di akhir buku, ternyata semakin dalam Tomi mencari, semakin gelap fakta yang ia peroleh. Tanpa sadar, nyawa Tomi pun jadi sasaran.  Review Novel Sang Pewarta Seperti judulnya, novel ini memang benar-benar menyajikan kehidupan wartawan. Saya memang tidak tahu persis seperti apa seorang wartawan bekerja, jadi tidak bisa membandingkannya. Tapi dari kacamata seorang Tomi, pembaca akan diajak berpetualang dengan segala keribetan dan keabnormalan jam kerja seorang wartawan.  Meski demikian, nyatanya di akhir pekan Tomi masih bisa menikmati jam normalnya para pekerja, dengan jalan-jalan, makan di warung burjo bahkan makan siang bersama gebetan.  Sebagai novel awal pengenalan tokoh Tomi, novel ini bisa dibilang cukup berhasil menghadirkan karakter Tomi dengan gemilang. Tomi sang wartawan yang cerdas ternyata juga memiliki beberapa kekurangan. Dan kekurangan ini ditampilkan dengan ciamik, hingga jadi celah menarik yang nantinya dibahas di novel kedua, ‘Kertas Hitam’. (saya sudah pernah membuat ulasannya).  Dan seperti dugaan saya saat menuliskan review Kertas Hitam, saat membaca Sang Pewarta ini saya bisa mengenal sosok Tomi lebih dalam. Serta latar belakang yang dia miliki sebagai seorang wartawan super.  Jika dibandingkan dengan novel kedua, novel pertama ini lebih selow. Kehidupan Tomi sebagai wartawan digambarkan dengan normal dan wajar. Jika di novel Sang Pewarta ini ketegangan fisik baru saja dimulai pertengahan buku hingga ke belakang, maka pada novel Kertas Hitam, pembaca sudah akan diberikan ketegangan sejak awal bab pertama.  Kalau bicara keruntutan cerita dan logika cerita, maka novel pertama dibangun dengan logika cerita yang rapi. Karakter demi karakter dikenalkan dengan baik. Kehidupan tampak normal dan wajar, serta dekat dengan kehidupan sehari-hari.  Berbeda dengan novel kedua, Kertas Hitam yang memang lebih banyak menyajikan adegan aksi serta ketegangan tidak biasa. Nuansa ketegangan dan suspense memang lebih terasa pada novel Kertas Hitam. Meski demikian, ini tidak menghilangkan daya tarik karakter Tomi untuk dikenal lebih jauh.  Secara tema, kedua novel ini, Kertas Hitam dan Sang Pewarta mengusung tema yang sama, ‘white colar crime’. Hanya saja pengungkapannya dengan cara yang agak berbeda. Dan seperti Kertas Hitam, Sang Pewarta juga menawarkan penyelesaian yang agak menggantung. Pada akhirnya, tidak semua hal benar-benar harus diungkapkan secara gamblang dan lengkap ke publik.  Selain cerita dan penggambaran karakter yang menarik, saya juga suka gaya bahasa penulis. Bukan melulu menggunakan bahasa dan penjelasan rumit. Nyatanya, istilah-istilah kewartawanan dan hukum yang digunakan, dijelaskan dengan cara yang sederhana serta mudah dimengerti oleh orang yang awam dalam kedua bidang itu. Bisa dibilang, bahkan orang yang tidak ngerti hukum maupun kewartawanan tetap bisa menikmati novel ini.  Penutup Jika dibandingkan dengan Kertas Hitam, Sang Pewarta ini memang sedikit lebih tebal. Jadi, pastikan untuk menyediakan waktu lebih banyak untuk menikmati novel ini dan berpetualang bersama Tomi. Karena pada novel kedua, endingnya terbuka, saya berharap ada novel berikutnya yang lebih menantang. Selamat membaca. 
Lihat Selengkapnya
Review Novel Kertas Hitam

Ini buku pertama penulis Aru Armando yang gue baca. Tergiur review dari akun IG @detectives_id, rasa penasaran pun muncul. Dan akhirnya kesempatan itu datang. Buku ini akhirnya mendarat dengan selamat di depan gue. Butuh super kehati-hatian saat membuka bungkusnya. Soalnya sampulnya putih, brooo Review Novel Kertas Hitam Buku ini sendiri terdiri dari 20 chapter berbeda. Tapi tidak ada judul khusus tiap chapternya, hanya nomer chapter. Jadi, nggak bisa ngebayangin juga isi tiap chapter seperti apa. Oh iya, gue akan buat review dalam dua part berbeda ya. Pada part ini gue akan bahas karakter yang muncul di buku ini. Dan untuk part berikutnya baru bahas isi serta plot. Karakter utama di buku ini adalah seorang wartawan bernama Tomi alias Satrio Utomo. Sepertinya novel ini masih punya benang merah dengan novel pertama penulis, karena masih menggunakan karakter yang sama. Ya si Tomi ini, yang dikenal sebagai ‘sang pewarta’ persis seperti judul novel pertamanya. Sebagai seorang wartawan, Tomi digambarkan sebagai wartawan cerdas, cadas dan berani. Meski, sebagai manusia, ia tetaplah manusia biasa yang pasti punya kelemahan. Sayangnya, kelemahan ini adalah sesuatu yang mudah dibaca. Atau memang sengaja dibuat seperti ini. Karakter lain yang muncul adalah Ratri si wartawan cantik nan seksi. Tidak hanya cerdas dan otaknya berisi, tapi Ratri ini paket komplit, karena cantik dan pandai memikat. Sayangnya, kehidupan Ratri tidak seindah tampilan fisiknya. Hmmm ... karakter Ratri ini, rumit, ehehehe. Baca sendiri aja ya. Karakter utama berikutnya adalah Maya. Tokoh Maya inilah yang nantinya akan jadi salah satu alasan bagi Tomi untuk masuk dan terseret lagi pada masalah lama yang belum selesai. Maya digambarkan sebagai pegawai biasa yang menjalahi kehidupan normal biasa dan tiba-tiba saja terdesak oleh berbagai hal. Berbeda dengan Tomi yang sudah terbiasa dengan kehidupan sebagai wartawan yang serta tidak pasti, Maya punya hidup yang ‘pasti’. Awalnya Maya digambarkan sebagai karakter cerdas dan sangat hati-hati. Tapi saat ia terseret dalam pencarian kebenaran bersama Tomi, muncul sifat-sifat manusiawi pada dirinya, seperti manja, kesal, penasaran, bahkan ceroboh. Mungkin dari semua orang dalam novel ini, Maya-lah karakter yang paling manusiawi. Selain tiga tokoh utama ini, ada beberapa karakter lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam cerita. Seperti tagline yang dipopulerkan, ‘white colar crime’, karakter di novel ini memang kebanyakan adalah orang-orang yang memang berada di balik meja. Orang-orang yang dengan telepon di tangan bisa menggerakkan banyak kaki dan tangannya untuk melakukan banyak hal di luar sana. Sementara mereka sama sekali tidak tersentuh. Dari semua karakter itu, sebenarnya ada satu karakter yang menarik menurut gue. Karakter ‘mbah’ yang digambarkan sebagai seorang wartawan senior. Sepanjang membaca novel ini, entah kenapa gue berpikir—dan berharap—ada plot twist pada karakter si ‘mbah’ ini. Berharap kalau dia sebenarnya orang penting yang perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin di tulisan lainnya. Balik lagi kepada Tomi, sebagai karakter utama, Tomi memang punya peran yang sangat besar. Jelas, dengan kemampuan dan kepiawaiannya sebagai wartawan, dia bisa disebut wartawan super. Dan ini membuat gue tergelitik ingin membaca novel sebelumnya ‘Sang Pewarta’. Karena di novel ‘Kertas Hitam’ ini ada beberapa karakter Tomi yang tidak dijelaskan kenapa demikian. Mungkin gue bisa menemukan kisahnya di buku sebelumnya. Penutup Duh, kenapa jadi aneh bin kaku begini ya tulisan gue? Jadi, ini cerita mengenai karakter di novel Kertas Hitam. Sebenarnya gue gatal ingin mengulas ceritanya. Tapi nggak seru kalau dibahas di sini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya, soal alur cerita ‘Kertas Hitam’ ini. See U

Review Risalah Kunang-Kunang Khaeriyah Nasruddin
Membaca buku ‘Risalah Kunang-Kunang’ seperti membaca kenangan seseorang. Kumpulan cerpen terbitan Penerbit Shofia ini ditulis oleh Khaeriyah Nasruddin dengan memakai alur cerita yang begitu menggigit. Bagai menonton bioskop sambil mengunyah popcorn. Cerita yang disajikan begitu haru dan mendebarkan. Meminjam perkataan pengendorse Masdar Zhainal, “Bahkan begitu nyata.” *** Jangan biarkan aku menunggu, Ibu! Semalam telah kuajari bibirku untuk tetap tersenyum di depan cermin. Aku ingin ketika ibu menatapnya, ibu menemukan senyumku tampak ramah. Di kursi ini, aku kembali duduk mennunggu ibu lewat lalu menyapaku. Namun, tetap sama. Kembali senyum ibu tak kujumpa. Rasanya senyum ibu telah hilang dari wajahnya. (hal. 7) Di awal-awal cerita, mengambil judul ‘Memetik Senyum Kunang-Kunang’, Khaeriyah menawarkan kenangan tentang kunang-kunang yang kehilangan sosok ayah –yang berujung pada kehilangan ibu. Kematian melahirkan peluang-peluang untuk berbuat keji. Seperti sang Ibu kunang-kunang yang bermesraan dengan kunang-kunang jantan yang lain. Sang gadis kunang-kunang teramat sedih. Rindu ia dengan sebuah kecupan ibunya. Ibu kunang-kunang berujar, “Kematian akan mengajarkan kita bahwa setiap orang terdekat akan pergi. Seperti ayah yang meninggalkan kita.” Tapi sayang, Ibu masih belum mengerti bahwa dialah yang dirindui sang anak. Bahwa sesuatu yang pergi, pasti meninggalkan kenangan. Kepergian ayah melahirkan kehilangan pada sosok Ibu. Di akhir cerita, cerpen ini melahirkan tanda tanya pada saya. Dan ini membuat cerpen ini menarik. Apakah ibu berbuat demikian agar ayah tak sedih di surga (dengan asumsi ayah sedih jika melihat ibu terus-terusan menangis mengingat ayah)? Ataukah malah membuatnya sedih? Pada cerpen ‘Malaikat Kunang-Kunang’, sungguh sangat mengaduk emosi. Bercerita tentang seseorang yang bunuh diri. Sang tokoh sepertinya sudah putus asa dengan hidup ini. Gelombang masalah tak bisa dibendung. Istrinya meninggal. Kadar imannya kemudian menipis. Hingga Tuhan dikatakannya telah mati. Nasihat untuk tidak bunuh diri diabaikannya. Cerpen ‘Mimpi Kunang-Kunang Kecil’ membawa saya terbang pada prosa yang ditulis Baikhati (Jauhari Subhi) berjudul ‘Anakku’. Bercerita tentang kerinduan anak pada sosok Ibu yang telah tiada. Jika Jauhari Subhi memberi perumpamaan langit yang bisa dijangkau dengan pesawat, maka Khaeriyah bercerita mengenai musim panen di mana sosok ibu akan datang. Anak dalam ‘Anakku’ ingin menemui ibunya di langit. Sedangkan dalam ‘Mimpi Kunang-Kunang Kecil’, anak menunggu ibu di musim panen. Intinya sama, merindukan sosok ibu. Dan sebagai anak, tentu saja adalah keniscayaan mencintai cocok Ibu. Sastrawan, Zawawi Imron bahkan bersyair atasnya. Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/ sesekali datang padaku/ menyuruhku menulis langit biru/ dengan sajakku. *** “Kunang-kunang senantiasa membuat orang-orang yang melihatnya bahagia. Meski mereka hanya bertemu kunang-kunang sekali dua kali, mereka akan selalu merindukannya. Bagaimana rasanya, ya, bila kita bertemu seseorang dan orang tersebut merindukan kita?”(hal 80) Buku ini ditutup dengan cerpen berujudul ‘Gadis Kunang-Kunang’. Cerpen ini sekaligus membuat saya ingin jadi kunang-kunang. Jujur saja, cerpen ini membuat saya rindu untuk bertemu rekan yang lagi tugas di luar kota. Kejadiannya memang tak seperti yang diceritakan dalam cerpen. Tetapi, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya –berupa ukhuwah- cukup mewakili perasaan saya. Cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh yang bertemu dengan Kak Helsa. Pertemuan mereka di pawai akbar ternyata menuai keakraban. Ukhuwah terjalin hingga pertemuan berikutnya. Namun, tiba saatnya saat sang tokoh tak sengaja melihat Kak Helsa dari kejauhan. Kak Helsa bersama dengan seorang lelaki yang –diduga oleh sang tokoh sebagai suami. Tapi, selang beberapa menit, sosok perempuan lain datang menemui ‘Lelaki Helsa’. Jelas saja, Helsa marah. Meski lelaki tersebut ingin mengutarakan penjelasan. Tapi, kemurungan sudah mulai tumpah. Kak Helsa berubah sejak kejadian itu. Selebihnya, cerpen ini ditutup dengan ungkapan yang sangat manis. “Aku akan pergi. Ke mana saja. Asal nggak kembali ke masa lalu.” Tapi, mungkinkah? *** Sebagai karya sastra, memang sepatutnya ia menggerakkan seseorang. Bahwa menulis tidak sekadar menulis. Tetapi, menyampaikan nilai-nilai yang dapat mengubah masyarakat. Dari perilaku naif ke arif. Dalam hal ini, Khaeriyah mencoba mengkritik hilangnya nilai arif tersebut secara unik lewat ‘Risalah Kunang-Kunang’.
Pikiran-Pikiran Sang Antropolog
Meminjam ungkapan Nathaniel Hawthorne (1804-1864), seorang sastrawan asal Negeri Paman Sam bahwa, "bacaan yang enak dibaca merupakan tulisan yang sangat sulit dibuat." Ungkapan novelis Amerika Serikat itu ada benarnya. Pasalnya bacaan yang baik merupakan konstruksi pikir otentik penulis, yang dituangkan melalui goresan pena dalam bentuk buku. *** Beranjak dari itu, aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan ditorehkan melalui goresan pena dari seorang antropolog perempuan. Dia tak lain adalah Nurul Ilmi Idrus. Sejumlah essaynya bertebaran di media masa lokal di Kota Anging Mamiri Makassar. Publik di kota pada bagian selatan Celebes Island itu tidak asing lagi dengan tulisan dari antropolog perempuan ini. Berbagai tulisannya itu yang kemudian dibukukan dengan judul "Kolumnikata", diterbitkan PT. Shofia Media Kreatif pada Juni 2022 lalu. Tulisan-tulisannya sederhana namun penuh dengan konten yang memperkayah khasanah pemikiran publik yang membacanya, dimana menukik langsung pada spektrum sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan baik itu di level lokal di Sulawesi Selatan dan tingkat nasional. Perspektif antropologi nampak kuat dalam konten-konten artikel di dalam buku ini. Pada titik ini penulisnya tengah memberikan pemahaman kepada kita menyangkut dengan antropologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari segala macam seluk beluk, unsur-unsur, kebudayaan yang dihasilkan dalam kehidupan manusia. Sehingga sisi ekonomi, masyarakat, agama dan keyakinan, politik pemerintahan, fisik manusia, kesehatan, perkembangan teknologi dan sebagainya menjadi kajian antropologi. Patut dibaca buah pikiran dari guru besar antropologi pada Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini, yang kini tengah menjabat sebagai Rektor di Universitas Muslim Maros (UMMA) oleh para khalayak dimana pun saja berada di Nusantara ini. Pasalnya essay-essay dalam buku ini memiliki kontribusi ril dalam menambah pengetahuan kita sebagai khalayak pembaca.