Selalu ada cara mengekspresikan cinta. Dan
bertebaranlah ekspresi itu dalam kumpulan puisi
bertema “malam” di buku Menghitung Kelahiran
Bintang.
Malam menjadi sangat ekspresif, liar, dan binal, di
coretan pena dua puluh tiga penulis muda nan enerjik.
Dari judul saja, adu ketangkasan melempar diksi
dipertarungkan. Ketika masuk ke awal-awal puisi, kita
akan menemukan ketidakpastian ingin, ketidakjelasan
hendak, maka harus membacanya hingga tuntas, agar
mampu menangkap makna dan memenjaranya dalam
rasa. Penulis mampu memaksa pembaca bertahan di ring
tinju rangkaian kalimat.
Malam menjadi sangat provokatif, inklusif, dan
metafisik, berseliweran di Lima Puluh Empat judul. Malam
terbedah tak hanya sebagai gelap membatas langit dan
bumi, menyelimut planet dari bias matahari, atau sebagai
payung agar bintang juga terlihat dari pasang mata tujuh
milyar manusia. Malam terbelah sebagai anak tangga
bersusun menuju langit ke tujuh di singgasana Raja Diraja,
sebagai pengantar pertemuan antarmakhluk yang
bersimbiosis mutualis, atau menjadi pengangkat doa-doa
ke kaki aras.