S ahibul hikayat, nun jauh di sana terdapat sebuah negeri,
seorang guru yang setiap pagi pergi ke sekolah untuk
bertemu dengan murid-murid. Dia dikenal sangat
cerdas dalam memberikan materi kepenulisan. Bahkan, guru
yang rajin masuk tepat waktu ke kelas sangat lihai
mengoreksi kesalahan-kesalahan kepenulisan, terutama
menulis sastra. Di mulut guru itu, sebuah teori yang sangat
berat dengan mudah diurai menjadi lebih ‘enteng’ untuk
dimengerti oleh murid-murid. Dia seperti sosok yang sangat
dirindukan oleh muridnya, sehinga tak jarang ketika tidak
datang masuk ke kelas, maka murid-muridnya segera mencari
ke kantor guru, bahkan bertanya ke sana ke mari, “ada apa
dengan guru kebanggaan kami?”
Memang wajah seperti itu. Dari tangan guru itu, lahir
berbagai kebanggan yang ditorehkan kepada sekolah.
Berbagai piala dan medali berhasil diraih, buah tangan dari
murid-murid sang guru tersebut. Bahkan dari tangan dingin
guru tersebut, berbagai tulisan muridnya terbit dalam bentuk
cetak di majalah, koran, blog, bahkan buku. Wajar saja. Jikalau
guru itu tidak hadir di sekolah, tentu saja dia a